Ragam Tanggapan Milenial Memaknai Hari Bumi

ragam-tanggapan-milenial-memaknai-hari-bumi Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI, Budi Prawara. (Rizky Perdana/PINDAINEWS)

DIDADAMEDIA, Bandung - Belum lama ini film dokumenter "Sexy Killer" ramai diperbincangkan masyarakat. Film karya rumah produksi WatchDoc tersebut kini sudah menembus lebih dari 18 juta penonton sejak diunggah di YouTube sepekan lalu.

Sexy Killer menceritakan bagaimana industri raksasa batu bara mengeruk bumi Indonesia sebagai bahan utama energi untuk aliran listrik yang didistribusikan ke seluruh penjuru daerah negeri.

Ekploitasi besar-besaran itu ternyata berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan sekitar tambang, bahkan manusia pun ikut terkena dampaknya akibat aktivitas tambang berpuluh-puluh tahun.

Mirisnya kondisi alam bumi Pertiwi memang perlu perhatian besar dari pemerintah, peringatan Hari Bumi yang jatuh setiap 22 April nampaknya bisa menjadi momen untuk mengingat bahwa kita harus merawat bumi dengan cara apapun. Lantas, seperti apa tanggapan dari milenial sebagai generasi penerus bangsa memaknai Hari Bumi ?

Kepada DIDADAMEDIA Ariyandi Rynaldi Ramadhan (24) mengatakan, Hari Bumi baginya adalah pengingat bahwa bumi sudah semakin tua dan perlu dijaga kelestariannya untuk anak cucu nanti. Salah satunya dengan berhemat energi listrik.

Dia menilai, pemerintah belum memiliki solusi konkret dalam merubah penggunaan energi batu bara sebagai sumber energi untuk PLTU.

"Seperti pada film Sexy Killer yang membuka mata bahwa untuk mendapatkan batu bara atau penambangan batu bara itu sangat merugikan bumi, karena mengeksploitasinya secara berlebihan dan para pengusaha yang tidak bertanggungjawab dengan apa yang telah mereka lakukan. Seperti banyaknya bekas lubang tambang yang tidak direklamasi dan merusak bumi. Jadi, dengan kita menghemat energi listrik yang kita gunakan kita sudah menyelamatkan bumi ini dari kerusakan,"  ujar Aldy di Bandung, Senin (22/4/2019).

Begitu pun Rifki Jamaludin (23). Menurutnya Hari Bumi bukan hanya seremoni, tapi harus menerapkan nilai dari Hari Bumi dengan peduli lingkungan sekitar, contohnya yaitu tidak membuang sampah sembarangan. Sebab jika terkena dampak musibah seperti banjir hanya bisa menyalahkan orang lain, padahal harusnya instropeksi diri sendiri.

Rifki juga melihat upaya pemerintah sepertinya masih ragu untuk bergerak ke energi terbarukan, contohnya pemerintah lebih memilih pembangunan PLTU sebagai sumber listrik tambahan indonesia dari pada alternatif, dengan mengesampingkan efek jangka panjang bagi masyarakat sekitar, dan bukan memperdayangan kearifan lokal alam sekitar indonesia.

"Itu contoh kecil nya saja. Intinya jaga bumi kita dengan perilaku baik kita terhadap bumi itu sendiri. Boleh mengeksplorasi tapi ingat juga apakah kita itu sudah kita pikirkan cara recoverynya kembali? Saya harap pemerintah harus memulai memanfaatkan tenaga terbarukan yang tidak merusak ekosistem alam indonesia," ucapnya.

Sementara itu, Nanda Lorenza (23) berpendapat Hari Bumi adalah hari dimana kita mengenang banyaknya pohon-pohon yang ditebang demi kepentingan manusia, lahan yang dibakar demi manusia dan bukan hanya mengingat, namun juga sadar dan memulai sesuatu yang bisa membuat bumi ini kembali jadi bumi. Sayangnya, Nanda juga menilai pemerintah belum terlalu serius mengupayakan pengembangan energi terbarukan.

Adapun, Siti Fathonah (23) juga berharap Hari Bumi bukan sekedar seremonial saja, dia mengapresiasi banyak komunitas dan pihak lainnya yang memperingati Hari Bumi dan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam penyelamatan bumi. Namun terkadang hanya ketika momen peringatan saja, setelah itu esok hari sudah lupa lagi dengan bumi.

Soal energi terbarukan dia juga setuju karena berkontribusi dalam menyelamatkan bumi. Tetapi jika memang pemerintah serius maka jangan berkoar-koar saat Hari Bumi namun dilakukan serius dan simultan.

"Soal transportasi ramah lingkungan, ini kan bukan wacana baru kan yah? Jadi entah saya kurang update atau emang pemerintah atau instansi tertentu hanya menyuarakan pas Hari Bumi aja," imbuhnya.

Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil minyak masih sangat tinggi yang mencapai 37 persen per tahun, disusul kebutuhan terhadap batu bara 33,4 persen dan gas 21,2 persen.

Padahal jika terus digunakan dan tidak ada temuan cadangan baru maka energi dari minyak bumi diyakini akan habis dalam kurun waktu 12 tahun lagi, begitu pula dengan batu bara yang usianya 82 tahun lagi serta gas bumi tersisa 33 tahun (Data 2015).

Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI, Budi Prawara menuturkan, estimasi cadangan energi terbarukan Indonesia mencapai 442 gigawatts namun hanya 2 persen yang telah dimanfaatkan. Contohnya energi surya yang memiliki potensi 207 gigawatts dan baru 0,04 persen termanfaatkan, terlebih lagi angin dengan potensi 60.647 megawatts tapi baru 0,01 persen dimanfaatkan.

"Ketergantungan terhadap energi fosil akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan juga, seperti contoh harga minyak yang tidak stabil, bisa naik dan turun maka harus ada subsidi, lalu dampak polusi lingkungan akibat eksploitasi," tandasnya.

Editor: redaktur

Komentar