DIDADAMEDIA, Bandung - Tingkat kewajaran money politic (politik uang) di masyarakat Jawa Barat meningkat saat Pemilu Serentak 2019, dibandingkan pada Pilkada Serentak 2018.
Hal tersebut terungkap dalam survei yang dilakukan Rectoverso Institute pada 15-25 Maret 2019 dengan populasi Pemilih DPT di 15 Dapil Jabar. Total sampel 7.500 responden dan 500 responden setiap Dapil.
Peneliti Rectoverso Institute, Romdin Azhar mengatakan, tingkat kewajaran masyarakat menerima money politic sebesar 35,60 persen pada Pilpres 2019. Sementara saat Pilkada Serentak 2018 hanya sekitar 10 persen. "Dari 35 persen itu, 25 persennya menyatakan akan menerima, tetapi ngga akan memilih orangnya," ujar Romdin di Bandung, Senin (1/4/2019).
Lebih lanjut Romdin memaparkan, 4,56 persen masyarakat Jabar akan menerima money politic dan memilih calon tersebut. Lalu 3,76 persen menerima dan memilih calon yang memberi lebih banyak, 9,95 persen tidak akan menerima uang dan 23,27 persen menjawab tidak tahu.
Menurutnya, angka 35 persen sangat tinggi dan memprihatinkan. Sebab artinya jika money politic wajar maka sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
"Ini jadi PR bagi penyelenggara pengawas pemilu. Apalagi dekat ke pemilihan, hari tenang, ada serangan fajar, jadi saling menjaga tidak hanya andalkan pengawas pemilu, bisa laporkan langsung via video agar bisa ditindaklanjuti," imbuhnya.
Disinggung apakah ada alasan masyarakat mengapa menganggap wajar money politic, Romdin mengaku punya analisis tersendiri. Dia menilai, tingkat demand (permintaan) masyarakat saat tahun politik meningkat, sehingga banyaknya peserta Pemilu yang datang ke masyarakat dimanfaatkan untuk 'tawar-menawar' money politic.
"Tidak menyatakan ya masyarakat, tapi analisis kita demand itu banyak, yang meminta, masyarakat seperti diulangtahunin banyak yang datang, tokoh datang, minta suara, minta pendapat dan menaikkan bargaining masyarakat," pungkasnya.