DIDADAMEDIA, Bandung - Rasa menjadi salah satu amunisi bagi perupa perempuan asal Bandung, Edrike Joosencia dalam berkarya. Tidak hanya rasa bahagia, sedih, kecewa, patah hati, marah, bahkan rasa berontak pun bisa menjadi bensin yang dahsyat baginya untuk menghasilkan karya rupa.
"Bagi saya karya itu adalah bentuk lain dari kejujuran rasa. Saya tidak bisa berbohong untuk setiap coretan yang saya tuangkan. Mau mood bagus atau jelek semua bisa menjadi karya," ungkapnya kepada PindaiNews di de Braga Artotel, Jumat (8/3/2019) kemarin.
Lulusan ITB 2016 ini merupakan salah seorang seniman muda yang intens berkomunikasi dengan ‘diri’-nya hingga seolah ia melepaskan diri dari kondisi-kondisi di sekitarnya, seolah ia terkena ‘mantra.’ Mantra sendiri merupakan salah satu karya ia pamerkan pada pemeran seni lukis bertajuk 'Amarga' yang digelar di Artspace lobby transit lantai 1 Yello Paskal 8 Maret hingga 17 Maret 2019.
Begitu juga untuk Mantra merupakan kata yang dipilih oleh Edrike untuk mendeskripsikan kondisinya ketika berkarya. "Saat itu mood saya lagi bagus dan itu terlihat dari hasilnya yang lumayan rapih," akunya.
Dalam konteks Bahasa Indonesia, mantra cenderung berkenaan dengan hal-hal yang bersifat gaib. Namun, dalam pemahaman Edrike, mantra dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi bermimpi. Cara pandang seniman berambut pendek itu cukup terbuka untuk hal-hal yang menurut kebanyakan orang aneh atau freak.
Bahkan dirinya begitu menggebu-gebu saat disinggung perihal seperti apa pandangannya mengenai seorang perempuan. Seperti pada karyanya yang mengangkat sosok perempuan.
"Bagi saya perempuan sekarang itu sudah jauh lebih maju ketimbang masa penjajahan. Bahkan, perempuan jangan mau direndahkan. Harus berani untuk kebenaran," tegasnya.
Editor: redaktur