DIDADAMEDIA, Bandung - Potensi terjadinya politik uang (money politic) lebih besar dalam proses Pemilihan Legislatif (Pileg) ketimbang Pemilihan Presiden (Pilpres).
Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Sindikasi Pemilu dan Demokrasi serta Lembaga Survei Indikator.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, August Melazt menuturkan, potensi kerawanan politik uang akan kembali terjadi dan meningkat pada Pemilu 2019. Hal ini didasarkan pada jumlah daerah pemilihan (dapil) di DPR yang semakin banyak, yaitu 80 dapil dengan jumlah caleg yang juga bertambah.
Selain itu menurut August, jika dilihat dari Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) tahun 2014, masih didominasi oleh penerimaan dari caleg. Hal ini juga dimungkinkan terjadi pada 2019 mengingat sistem yang digunakan masih proporsional terbuka.
"Dari total Rp2,1 trilliun LPSDK terdapat 82,65 persen penerimaan dari caleg, perseorangan 8,34 persen, partai politik 7,60 persen, badan usaha 1,15 persen dan kelompok 0,2 persen," ujar August dari rilis yang diterima PindaiNews, Jumat (8/2/2019).
Hal ini artinya, sumbangan dana kampanye masih lebih besar dibandingkan partai politik. Sistem proporsonal terbuka inilah yang menyebabkan kampanye makin bersifat personal, bukan partai, sehingga politik uang seolah tak dapat dihindari.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan, minimnya pengawasan dan perubahan daerah pemilihan turut memengaruhi meningkatnya potensi politik uang
"Faktornya yang bertarung di Pileg jauh lebih banyak dibandingkan 2014, karena Dapil nambah kursi juga nambah," tuturnya.
Padahal, dia menyebut target politik uang ini belum tentu efektif karena adanya potensi miss targeting dan agency loss. Namun dia tetap meminta semua pihak mewaspadai money politic karena masih ada kelompok yang cenderung terpengaruh politik uang, seperti kelompok yang memiliki kedekatan dengan partai politik, tokoh atau kelompok partisan.
"Sudah pasti ada ketidakefektifan dalam politik uang. Potensi terjadinya uang disunat koordinator itu besar terjadi. Itu agency loss. Ada juga miss targeting karena terlalu banyak di kalangan yang dapat uang pun mereka belum tentu mau ke TPS apalagi nyoblos," pungkasnya.
Editor: redaktur