Didada Media - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia terus mengalami tekanan. Perlambatan ekonomi di pasar-pasar tujuan ekspor utama menyebabkan anjloknya permintaan menjadi salah satu pemicunya. Disisi lain, serbuan produk impor turut menggerogoti pasar domestik. Dilain pihak tingginya upah buruh dan biaya-biaya tak terduga semakin memperbesar biaya produksi.
Sepanjang tahun 2023 tercatat 10 pabrik yang melakukan PHK,dan menyebabkan 12 ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Angka ini hanya mencatat PHK yang dilakukan pabrik beranggotakan serikat pekerja tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN).
Dalam catatan KSPN, ada pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jawa Barat dikabarkan tutup pada 2 November 2023 lalu. Sehingga, per November 2023 lalu, jumlah karyawan yang jadi korban PHK di industri TPT nasional sejak awal 2023 menjadi 7.200-an orang oleh 8 perusahaan.
Terbaru, 2 pabrik TPT di Kota Semarang dilaporkan melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya.
"Ini adalah PHK yang terjadi di bulan Desember ini. Sehingga tahun ini ada 10 perusahaan yang melakukan PHK lebih 12.000 orang pekerja," kata Presiden KSPN Ristadi, seperti dikutip dari CNBC.
"Saat ini sedang ada proses PHK ratusan pekerja pabrik benang dan kain di Kota Semarang. Dia memasok kain dan benang untuk perusahaan garmen yang juga satu grupnya. Perusahaan ini memang sudah melakukan PHK yang berlanjut sampai saat ini terus berjalan. Jadi belum ada angka pastinya," katanya.
"Lalu ada perusahaan garmen lagi di Kota Semarang juga. Sedang proses negosiasi besaran pesangon. Sekitar 5.000-an pekerja di-PHK," tambahnya.
"Namun, kalau ditotal sejak tahun 2022 sampai awal tahun 2023, jumlah PHK di pabrik-pabrik tempat anggota KSPN sudah mencapai 56.976 orang. Ini total 36 perusahaan di Semarang, Pekalongan, Sukoharjo, Magelang, Demak, Karanganyar, provinsi Jawa Barat, dan provinsi Banten. PHK terjadi di pabrik tekstil, garmen, ekspedisi, kulit, mebel, ritel, sepatu, dan sparepart," tukasnya.
Menurut Ristadi, PHK dipicu serbuan produk impor yang menggerus pasar di dalam negeri. Sementara, pabrik berorientasi ekspor terkena efek anjloknya permintaan di tengah tekanan ekonomi global.
"Kami berharap pemerintah concern terhadap sektor TPT, garmen, dan sepatu yang menyerap jutaan lapangan pekerjaan. Ini adalah industri padat karya," sebutnya.
"Pabrik benang dan kain di Semarang yang baru PHK itu memang lokal. Tapi dia memasok untuk pabrik yang ditujukan untuk ekspor yang ordernya juga anjlok. Sementara pabrik garmen itu adalah pemasok untuk brand-brand internasional. Dia orientasi ekspor," ungkapnya.
Karena itu, lanjut Ristadi, di tengah anjloknya ekspor, pabrik garmen tersebut memutuskan pindah atau merelokasi pabriknya dari Kota Semarang.
"Manajemen menyampaikan mereka akan relokasi ke Grobogan (Jawa Tengah). Juga untuk menekan cost produksi. Biasanya ini karena nggak kuat upah minimum dan biaya-biaya tak terduga lainnya," sebut Ristadi.
Dia pun mendesak langkah konkret dan cepat dari pemerintah untuk membantu industri padat karya di dalam negeri, seperti industri TPT.
"Ada 2 upaya penyelamatan industri tekstil yang mendesak dan harus dilakukan pemerintah segera. Yaitu, upaya penyelamatan industri berbasis pasar lokal dan berorientasi ekspor," katanya.
Upaya untuk industri orientasi pasar lokal adalah:
1. Stop impor ilegal dan batasi perjanjian perdagangan
2. Operasi pasar barang ilegal
3. Bantuan modernisasi mesin tekstil
4. Kebijakan perbankan dan pajak yang lunak.
Upaya untuk industri orientasi pasar ekspor adalah:
1. Kebijakan pajak, harga energi, serta perizinan yang murah dan cepat
2. Bantu promosi perluasan pasar tekstil di luar Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Editor: redaktur