DIDADAMEDIA, Jakarta - Teknologi Ponsel terus berkambang. Selain sebagai alat komunikasi juga bis mengoperasikan Global Positioning System (GPS) dengan berbagai manfaat, di antaranya penentuan lokasi, navigasi, bahkan penunjuk waktu.
Manfaat tersebut tentu tidak hanya sekadar membantu pengendara dalam menentukan jalan, namun juga dapat digunakan untuk mencari nafkah terutama bagi para pengemudi angkutan umum dalam jaringan.
Namun manfaat ponsel tersebut kini dibatasi penjelasan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Norma tersebut melarang penggunaan ponsel oleh setiap orang yang sedang mengemudi kendaraan bermotor.
Ketentuan tersebut kemudian didukung Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang mengatur sanksi pidana bagi siapapun yang melanggar aturan dalam Pasal 106 UU LLAJ.
Akibat pembatasan tersebut satu komunitas penggemar mobil dan seorang pengemudi angkutan umum daring bernama Irfan mengajukan uji materi untuk kedua norma tersebut di Mahkamah Konstitusi, karena merasa dirugikan akibat berlakunya kedua aturan tersebut.
Kedua pemohon berpendapat bahwa apabila ketentuan yang mengandung frasa "menggunakan telepon" diberlakukan bagi pengemudi angkutan umum daring , maka pemohon akan berpotensi selalu terkena sanksi pidana. Padahal, GPS pada ponsel diakui pemohon sebagai salah satu sarana penunjang pekerjaannya.
Mengenai dalil para pemohon tersebut, Mahkamah menyatakan dapat memahami bahwa pengoperasian GPS sangat membantu pengemudi untuk sampai pada tujuannya dengan menempuh rute terbaik sesuai dengan tayangan GPS.
Persoalannya, pengguna GPS dalam telepon seluler bukanlah satu-satunya pengemudi yang berada di rute jalan dimaksud. Pada saat yang sama GPS juga bukan satu-satunya objek yang harus diperhatikan oleh pengemudi.
"Di sepanjang jalan pengemudi berhadapan dengan objek-objek lainnya yang menjadi kewajiban pengemudi untuk memerhatikannya sesuai dengan ketentuan tertib berlalu lintas dalam UU 22/2009 misalnya rambu lalu lintas, bangunan, cahaya, dan lainnya," ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan Mahkamah.
Mahkamah berpendapat konsentrasi pengemudi tidak boleh terganggu karena menggunakan aplikasi GPS dalam telepon seluler pada saat berkendara karena akan menyebabkan berkurangnya perhatian dan konsentrasi pengemudi yang dapat berdampak pada kecelakaan lalu lintas.
Kedua norma yang diujikan berisi norma perintah yang mewajibkan setiap orang mengemudikan kendaraannya secara wajar dan penuh konsentrasi. Keselamatan berlalu lintas Mahkamah dalam pertimbangannya juga menyebutkan dapat memahami maksud dari norma tersebut, karena tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan dan memberikan jaminan ketertiban serta keselamatan berlalu lintas.
"Karena salah satu fungsi hukum, termasuk dalam hal ini adalah undang-undang tersebut, adalah sarana untuk rekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik," tambah Wahiduddin.
Menurut Mahkamah wajah dan budaya hukum suatu negara tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam berlalu lintas.
Oleh karenanya UU 22/2009 menghendaki setiap orang yang menggunakan jalan diwajibkan untuk berperilaku tertib agar terhindar dari segala hal yang berpotensi membahayakan keamanan dan keselamatan berlalu lintas.
Pentingnya perilaku tertib ini dipahami Mahkamah, terutama ketika Mahkamah merujuk pada data angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia selama lima tahun terakhir, yaitu dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 telah terjadi 494.313 kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kesalahan manusia.
Angka tersebut didapat berdasarkan catatan IRSMS Sistem Informasi Kecelakaan Lalu Lintas Korlantas Polri, yang dipaparkan oleh Brigjen Polres Chryshanda ketika memberikan keterangan selaku pihak terkait di dalam persidangan pada tanggal 9 Mei 2018.
Pembentuk undang-undang dinilai Mahkamah hanya merumuskan secara umum penjelasan terkait penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengendara dalam mengemudi kendaraan secara penuh konsentrasi.
"Supaya pelaksanaan norma tersebut tidak mudah tertinggal, tetapi mampu menjangkau kebutuhan hukum dalam jangka waktu yang panjang, termasuk mengantisaipasi adanya perkembangan teknologi," jelas Wahiduddin.