Jalan Mundur Penyandang Disabilitas, Simbol Mundurnya Pemerintah

jalan-mundur-penyandang-disabilitas-simbol-mundurnya-pemerintah Aksi jalan mundur penyandang disabilitas simbol mundurnya kebijakan pemerintah. (Rizky Perdana/PINDAINEWS)
DIDADAMEDIA, Bandung - Puluhan penyandang disabilitas tunanetra menggelar unjuk rasa dengan berjalan mundur dari Jalan Pajajaran menuju Gedung Sate Bandung, Kamis (31/1/2019).

Para disabilitas yang mengatasnamakan Forum Akademisi Luar Biasa ini menyuarakan aspirasinya di depan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat atau Gedung Sate Bandung.

Koordinator aksi Forum Akademisi Luar Biasa, Aris mengatakan, aksi jalan mundur adalah simbolis mundurnya kebijakan pemerintah Indonesia. Dia menilai, hukum semakin tajam ke bawah dan teman-teman disabilitas menjadi korban ketidakadilan negara.

"Kebijakan pemerintah yang tumpah tindih dan kami rasakan bagi disabilitas itu kemunduran, jadi kami gambarkan negara ini sedang alami kemunduran," ujar Aris.

Tak hanya itu, Aris mengungkapkan para Paslon Pilpres 2019 pun tidak memiliki program yang cenderung pro terhadap disabilitas. Hal ini terlihat dari Debat Pertama Pilpres 2019 yang dirasa tidak serius membahas disabilitas, padahal Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salahsatu tema yang diangkat.

"Begitu juga debat Pilpres hanya sedikit bahas tentang kami, seperti tidak serius tanggapi permasalahan disabilitas," tambahnya.

Aris menuntut pemerintah segera membentuk Komisi Disabilitas Nasional sebagai sebuah badan resmi yang menangani disabilitas. Pasalnya, hak disabilitas sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, tapi dirasa belum ada tindakan nyata.

Selain itu, kaum disabilitas juga menolak terbitnya Peraturan Menteri Sosial Nomor 18 Tahun 2018 yang merubah fungsi Panti menjadi Balai, sehingga terjadi perubahan pengelolaan Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung.

Dampaknya bagi mereka adalah kuota pelatihan dan pemberdayaan tunanetra yang dikurangi dari 250 orang sekarang menjadi 175 orang, bahkan akan dipangkas lagi menjadi 50 orang. 

Hal ini tidak sesuai dengan fakta bahwa jumlah penyandang disabilitas terus bertambah, sedangkan kesempatan mereka mendapatkan hidup layak minim sekali.

"Kita biasanya diberi pelatihan pijat, shiatsu, bahkan karena kita membawahi teman-teman disabilitas yang berpendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi juga kebingungan karena Wyataguna hanya bisa menjamkn kami tinggal sampai Juni 2019 ini," pungkasnya.


Editor: redaktur

Komentar