DIDADAMEDIA, Bandung - Tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu memberikan dampak kerusakan dan juga trauma bagi warga Banten dan Lampung. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau menjadi pemicu tsunami.
Berbagai bencana gempa bumi dan tsunami sudah menjadi risiko Indonesia yang berada di lingkaran Ring Of Fire ini. Dua bulan sebelumnya tsunami juga meluluhlantakkan Kota Palu, Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Mundur lagi beberapa waktu Gempa Bumi Lombok Juli 2018. Bahkan masih teringat dengan tsunami akibat gempa berkekuatan 9 SR yang menghancurkan Aceh tahun 2004 silam.
Terlepas dari itu semua, jauh dibawah permukaan laut Selat Sunda ternyata juga menyimpan potensi bencana besar dengan adanya tatanan lempeng tektonik Selat Sunda.
Peneliti Selat Sunda dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Hery Harjono mengatakan, Selat Sunda secara tektonik memiliki keunikan tersendiri dibandingkan tatatan tektonik lainnya di Indonesia. Bencana tsunami Banten dan Lampung kemarin pun tak terlepas dari tatanan tektonik, meskipun yang terlihat adalah karena aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.
"Itu yang mewarnai bahaya menjadi bencana. Jadi kejadian yang ada di selat Sunda itu tidak lepas dari tatanan tektonik. Jadi itu yang mengontrol kejadian apakah itu ada hubungannya dengan tsunami, kemudian gunung api Krakatau apakah dilalui patahan aktif atau tidak," ujar Hery dalam diskusi bertajuk 'Tatanan tektonik Selat Sunda, Tsunami dan Upaya Mitigasi', di Auditorium CC Kampus ITB, Bandung, Selasa (29/1/2019).
Hery mengibaratkan tektonik Selat Sunda bagaikan 'sosis' yang ketika ditarik ke dua arah, bagian tengahnya menjadi tipis. Begitu pula dengan tektonik Selat Sunda, Pulau Sumatera dan Jawa dua-duanya saling tarik menarik ke arah berbeda, sehingga titik tengah yaitu Selat Sunda (termasuk lokasi Gunung Anak Krakatau) menjadi tipis.
"Magma di bawahnya banyak karena tipis jadi Krakatau naik terus dan tidak pernah berhenti seperti Sinabung, Sinabung sempat berhenti lalu setelah tidur 1.200 tahun bangun lagi," jelasnya.
Tektonik Selat Sunda juga disebut unik karena berada di antara zona transisi antara subduksi (tabrakan) lempeng India, Indo-australia dan Jawa yang tegak lurus.
"Kalau tabrakan Sumatera itu miring, jadi karena miring itu dia membawa bagian dari Sumatera bergerak ke utara yang menyebabkan Selat Sunda seperti sosis," ungkapnya.
Karena keunikan tektonik Selat Sunda ini pula yang menyimpan potensi bencana besar. Salahsatunya tsunami dan gunung Anak Krakatau yang terus menerus tumbuh, lalu meletus, hancur, kemudian tumbuh lagi dan terus berulang. "Gunung api sudah tumbuh lagi karena tumbuh di lereng yang terjal, jadi akan begitu lagi," sambungnya.
Terkait mitigasi bencana, Hery menilai peran pemerintah sangat penting kehadirannya. Pemerintah harus belajar dari sejarah bencana yang berkali-kali terjadi.
Layaknya Negara Jepang yang terus memperbaharui kebijakan dan aturan dalam meminimalisasi dampak. Meski berkali-kali rusak akibat bencana, namun trennya menunjukkan perbaikan.
"Seperti Jepang berkali-kali dia merubah peraturan kena gempa rusak, buat lagi tapi ada kemajuan. Indonesia sudah berkali-kali seperti 2004 tsunami Aceh. Saya rasa harus ada kemauan dari pemerintah," tandasnya.