DIDADAMEDIA, Bandung - Gulbachar Jalilova menguak kisah pilu betapa sulitnya dia dan warga etnis Uighur menjalankan kewajiban beribadah sebagai seorang muslim setelah 'dipaksa' menghuni kamp di Provinsi Xinjiang, Tiongkok.
Kamp yang disebut pemerintah setempat sebagai pusat pendidikan itu, sudah sejak lama dicurigai PBB dan aktivis Human Right Internasional melakukan aktivita yang melanggar HAM.
Bahkan, PBB menyebut Provinsi Xianjiang yang mayoritas penduduknya adalah etnis Uighur yang beragama Islam sebagai salah satu wilayah paling tertutup.
"Sejak pagi hingga malam, penghuni kamp harus berdiri menghadap dinding, ada kamera pengawasannya, di dinding itu video Presiden Xi Jinping," ujar Gulbachar mengisahkan penderitaannya selama berada di kamp dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (12/1/2019).
Para penghuni kamp tersebut, kata perempuan berusia 54 tahun itu, bahkan dilarang untuk duduk atau melakukan gerakan lain, karena dikira melakukan gerakan salat. Begitu ada yang ketahuan duduk, maka akan mengalami penyiksaan.
Bahkan, dia selama menjadi tahanan di kamp tersebut, kesulitan untuk keramas, karena jika rambut ketahuan basah, maka dikira sesudah wudhu dan jika ketahuan akan mendapatkan penyiksaan.
Gulbachar mengungkapkan, harus menjalani masa 'tahanan' selama 16 bulan di kamp yang didirikan tanpa alasan yang jelas itu. Gulbachar, sebenarnya bukan penduduk asli Xianjiang. Dia berasal dari Kazakhstan dan tinggal di sana hampir 20 tahun untuk berbisnis di perbatasan Cina-Kazakhstan.
"Saya ditangkap pada Mei 2017 di Urumqi dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal," kata Gulbachar.
Selama di kamp, dia menemukan para penghuni tahanan yang merupakan Muslim Uighur ditahan tanpa alasan yang jelas. Ada yang ditahan karena mereka shalat, berpuasa atau melaksanakan perintah agama lainnya.
Selain itu, kata Gulbachar, tak sedikit di antara warga setempat yang ditahan karena di rumahnya ada Alquran atau ada aplikasi maupun foto-foto masjid di ponselnya. Kehidupan di kamp juga sangat memperihatinkan karena banyak tahanan yang mengalami siksaan dan mendapat makanan dan minuman yang terbatas.
"Berat badan saya turun hingga 20 kilogram selama di kamp tahanan," ujar Gulbachar yang dibebaskan berkat lobi dari keluarga dan juga pemerintah Kazakhstan.
Rata-rata penghuni kamp tersebut berusia 14 hingga 80 tahun. Di kamp itu, tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi ada juga yang mendapatkan hukuman mati. "Saya pernah dibawa ke rumah sakit setelah disiksa, dan mendengar seorang perempuan akan dibebaskan. Padahal sebenarnya dia itu akan dihukum mati," tandas Gulbachar.
Setiap pekan, penghuni kamp disuntik untuk diambil darahnya, namun mereka tidak mengetahui untuk apa darah itu digunakan. Dia berharap dunia internasional untuk mendesak pemerintah Tiongkok menghentikan kamp tersebut.
Mayoritas Masjid Dihancurkan
Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur (Uighur), Seyit Tumturk mengatakan, setidaknya ada sekitar tiga juta Muslim Uighur yang mengalami penahanan.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak Muslim Uighur juga dicekoki dengan ajaran komunis. Sejak kecil , anak-anak Muslim Uighur diajarkan berbahasa, berpakaian, dan berperilaku seperti layaknya orang Tiongkok.
"Sekitar 90% masjid di Xinjiang sudah dihancurkan. Hanya sedikit yang dibolehkan berdiri," kata Tumturk.
Tumturk juga mengutuk program pemerintah Tiongkok yang memasukkan etnis China lainnya ke rumah Muslim Uighur. Tujuannya untuk mengendalikan kehidupan Muslim Uighur.
Data yang dirilis perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkirakan lebih dari 1 juta etnis minoritas Muslim Uighur di kamp pelatihan. Pemerintah Tiongkok menyebut bahwa kamp tersebut merupakan kamp pelatihan vokasi bagi masyarakat Muslim Uighur.
Editor: redaktur