DIDADAMEDIA, Jakarta - Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan akhirnya memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus suap perizinan proyek Meikarta Bekasi. Sebelumnya terjadi miskomunikasi pengiriman surat panggilan pemeriksaan tersebut.
"Saya katakan ada miskomunikasi antara saya dengan KPK, tapi alhamdulillah hari ini saya datang untuk memberikan dan menjelaskan status Meikarta itu," kata Ahmad Heryawan (Aher) di gedung KPK Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Aher seharusnya menjadi saksi pada Senin (7/1) untuk tersangka Neneng Hassanah Yasin. Namun dia tidak datang dan tanpa pemberitahuan.
"Ada dua surat yang dilayangkan kepada saya, yang pertama tanggal 18 Desember, tapi surat tersebut antara alamat surat dengan yang dituju berbeda, jadi amplop surat untuk saya, isi suratnya bukan untuk saya, maka itu tanggal 19 Desember saya kembalikan," kata Aher.
Selanjutnya, Aher mengaku KPK kembali mengirimkan surat kedua tapi kembali terjadi miskomunikasi. "Karena surat itu masih diantar ke rumah dinas lama saya sebagai Gubernur Jawa Barat sehingga proses pengantaran dari rumah dinas gubernur ke rumah saya ada hambatan. Sampai kemarin saya belum menerima suratnya, karena itu saya tidak datang," tambah Aher.
Namun Aher kemudian menghubungi penyidik melalui "call center" KPK 198, Selasa (8/1/2019).
"Dan kemarin alhamdulillah saya berkomunikasi dengan pihak KPK melalui 'call center' dan di 'call center' kemudian saya diterima oleh Pak Taufik, salah satu penyidik, kemudian saya ceritakan persoalannya, surat kesatu dan kedua itu. Dikatakan besok saja datang ke KPK tanpa surat panggilan berikutnya, saya katakan, 'bagus pak, besok saya akan datang'," jelas Aher.
Dalam penyidikan kasus tersebut, KPK terus mendalami sejumlah penyimpangan perizinan yang diduga terjadi sejak awal dan keterkaitannya dengan dugaan suap yang diberikan kepada Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin dan juga pendalaman sumber uang suap tersebut pada sejumlah pejabat dan pegawai Lippo Group.
"Selain itu dalam kasus ini, KPK juga mendapatkan informasi adanya dugaan pembiayaan wisata ke luar negeri untuk sejumlah anggota DPRD Bekasi dan keluarga. Selama proses pemeriksaan sebelumnya, KPK juga telah menerima pengembalian uang dari beberapa anggota DPRD Bekasi tersebut. Sejauh ini berjumlah sekitar Rp100 juta. Kami ingatkan, sikap kooperatif ini jauh lebih baik dalam proses hukum," kata Jubir KPK Febri Diansyah.
KPK telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu, yaitu Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei, dan Juni 2018.
Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.