DIDADAMEDIA, Bandung - Peristiwa berdarah yang menimpa seorang warga sipil dan penembakan terhadap anggota polisi saat melakukan evakuasi jasad korban di Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, diyakini terkait dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso yang pernah dipimpin oleh Santoso.
Kelompok ini kembali menunjukkan eksistensinya meski sebenarnya TNI dan Polri sudah melancarkan operasi untuk mengejar kelompok teroris Poso eks-Santoso sejak 2016. Sayangnya, kelompok tersebut belum bisa sepenuhnya ditumpas meski Santoso tewas tertembak dan pengganti Santoso, Basri, sudah berhasil ditangkap.
Menurut pengamat terorisme Universitas Tadulako di Palu, Muhammad Marzuki, kesulitan terbesar menumpas kelompok bersenjata di Poso adalah kondisi medan yang berat. Kelompok ini sudah berada di hutan belantara dan di pegunungan satu atau dua tahun sehingga sudah mengenal medan.
"Sementara dalam periode yang sama, aparat keamanan yang ditugaskan mungkin sudah diganti," kata Marzuki seperti dilansir BBC.
Marzuki mengatakan intensitas operasi Tinombala saat ini sudah tidak sebesar dulu. Meski jumlah teroris eks-Santoso di Poso sekitar 12 orang, kata Marzuki, namun jika mereka berhasil melakukan konsolidasi, jumlahnya mungkin saja bisa bertambah.
Dalam beberapa bulan terakhir hampir tidak ada gangguan keamanan di Poso dan sekitarnya hinga akhirnya muncul insiden pemenggalan dan penembakan pada akhir Desember. Aparat keamanan belum secara resmi mengidentifikasi pelaku. Namun menurut Marzuki, dilihat dari sisi pola, pelakunya adalah teroris Poso, meski dari sisi lokasi, bergerak ke utara.
Menurut Marzuki, sekilas penembakan terhadap polisi bukan aksi terencana, namun besar kemungkinan insiden ini adalah skenario yang sudah disiapkan oleh kelompok teroris. Marzuki menjelaskan setidaknya ada tiga faktor aksi tersebut dilakukan para pelaku saat ini.
Pertama adalah konsolidasi naiknya Ali Kalora dalam kelompok teroris di Poso yang baru selesai belum lama ini. Kedua, mereka memanfaatkan momentum, di mana pada Desember dan Januari, aparat keamanan fokus ke pengamanan perayaan Natal dan tahun baru. Sementara yang ketiga adalah bencana alam di Palu, Donggala, dan Sigi, yang membuat perhatian pemerintah dan aparat ada di tiga daerah ini.
"Yang paling penting adalah, mereka ingin menyampaikan kepada kita bahwa mereka masih ada dan belum selesai dalam mewujudkan apa yang mereka perjuangkan," kata Marzuki.
Dari tingkat ancaman, ia mengatakan tidak terlalu besar, tapi metode hit and run (tembak dan lari) yang sporadis, bisa meresahkan masyarakat.
Editor: redaktur