DIDADAMEDIA, Bandung - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendukung DPR RI segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang telah diusulkan sejak April 2017.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R Dannes, mengatakan tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia khususnya terhadap perempuan dan anak sudah sangat memprihatinkan.
Mirisnya, korban kekerasan seksual tidak hanya mengalami penderitaan fisik dan psikis berupa trauma yang berkepanjangan, namun juga kerusakan organ reproduksi, serta penderitaan luar biasa menyebabkan cacat fisik bahkan hingga meninggal dunia.
"RUU PKS harus segera disahkan sebagai alat penting yang sangat positif untuk mengatur dan memberikan efek jera bagi pelaku. Mari kita berkomitmen bersama dorong pengesahan UU-PKS,” ujar Vennetia di Jakarta.
Vennetia menegaskan, RUU PKS diperlukan sebagai payung hukum yang sifatnya lex specialist untuk penegakan hukum yang efektif. Namun, hambatan yang dihadapi yaitu pembuktian ilmiah (scientific evidence-based) kasus kekerasan seksual dirasa masih sulit, sehingga RUU PKS diperlukan menjadi alat untuk pencegahan, penanganan dan pemulihan.
"Korban kekerasan seksual yang mengalami penderitaan tentu memerlukan layanan dalam pemenuhan haknya, antara lain yaitu layanan kesehatan, rehabilitasi terhadap korban, reintegrasi sosial, bimbingan konseling, pendampingan dan bantuan hukum, serta perlu diupayakan mendapat kompensasi dan restitusi," paparnya seperti rilis yang diterima DIDADAMEDIA.
Pemerintah sendiri ditegaskannya, telah berusaha semaksimal mungkin menindaklanjuti RUU PKS pada 28 April 2017 dalam rapat resmi di Setneg bersama 11 Kementerian/Lembaga untuk memenuhi 60 hari kerja proses dalam membuat daftar inventarisasi masalah atas RUU PKS. Pada 11 September 2017 daftar tersebut telah disampaikan ke DPR RI atas kesepakatan panitia antar Kementerian.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher mengakui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjadi prioritas DPR untuk segera disahkan. Namun dia menilai, perlu digelar FGD dengan aparat penegak hukum, perguruan tinggi dan masyarakat, dan perwakilan provinsi tentang RUU PKS untuk menghindari cacat hukum dan implementatif.
“DPR mendukung disahkannya RUU PKS ini dan menjadi prioritas untuk diputuskan. Sebagai bahan pertimbangan RUU PKS ini sebaiknya didasari pada pengalaman dan peristiwa sosial yang melanggar norma-norma,” tukasnya.
Pada 2016 Kemen PPPA bersama Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) terhadap 9.000 sampel rumah tangga, diketahui terdapat 1.017 perempuan dan anak mengalami kekerasan seksual.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sejak Januari sampai April 2017 terdapat 41 kasus kekerasan seksual dan eksploitasi seksual terhadap anak.
Selain itu, berdasarkan kompilasi data di media elektronik yang dihimpun Kemen PPPA dari Januari sampai Maret 2016, terdapat 74 kasus kekerasan seksual dan eksploitasi seksual, dengan pelaku 112, dan 102 anak menjadi korban kekerasan seksual dan eksploitasi seksual.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Segera Disahkan
