DIDADAMEDIA, Jakarta - Wabah virus corona telah menggoyahkan ketahanan ekonomi keluarga. Perusahaan kecil hingga perusahaan besar melakukan pengurangan karyawan dengan cara merumahkan atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena lesunya bisnis sebagai dampak pandemi.
Sekolah, usaha dan kerja semuanya dilakukan dari rumah demi memutus mata rantai penularan virus corona jenis baru penyebab COVID-19. Akibatnya, banyak sektor usaha terpukul karena penutupan sementara pusat-pusat bisnis dan berbagai fasilitas umum untuk menghindari terjadinya kerumunan warga.
Dampak kebijakan tinggal di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home) dan kemudian ditambah lagi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai sudut kota misalnya di Jabodetabek, yang terlihat adalah fenomena para pengemudi ojek online yang hanya duduk-duduk menunggu datangnya order pemesanan makanan atau jasa antar barang.
Para pengemudi ojek online tidak dibolehkan mengangkut penumpang sebagai salah satu kebijakan pembatasan berskala besar sehingga mereka hanya bisa mengharapkan rejeki dari pemesanan makanan atau pengantaran barang yang ordernya berhasil ditangkap.
BACA JUGA :
Fenomena para pengemudi ojek online yang berjajar di sepanjang jalan menunggu datangnya order pesanan menjadi ramai diperbincangkan oleh para warganet di media sosial. Foto-foto tersebut memperlihatkan para pengemudi ojek daring memarkir motornya di jalan-jalan utama kompleks perumahan hanya duduk-duduk berdiam diri.
Selain fenomena barisan pengemudi ojek online, sejak memasuki Ramadhan suasana jalan utama di sudut kota dan di perumahan-perumahan besar di wilayah Jabodetabek pada sore hari kini diramaikan oleh kehadiran deretan 'manusia gerobak', alias para pemulung yang datang beserta keluarganya yang jumlahnya bisa belasan gerobak hingga puluhan.
Kehadiran para pemulung yang semakin sore bercampur baur dengan pengemis, tukang rumput keliling hingga penjahit keliling yang berjajar di pingir jalan semata-mata karena menanti belas kasihan orang yang lebih mampu membagi-bagikan rejeki dari sekadar nasi bungkus hingga sembako yang sudah dikemas dalam kantong plastik atau kardus.
Pembatasan berskala besar telah membawa konsekuensi berkurangnya pendapatan usaha terutama sektor informal dan usaha jasa seperti pengemudi ojek online salah satunya yang ikut terpukul. Kenyataan pahit dialami para ojek online karena aplikasi untuk jemput antar penumpang untuk sementara ditutup demi alasan menjaga jarak alias "physical distancing".
Ketua dari salah satu komunitas ojek online, Presidium Nasional Garda, Igun Wicaksono memperkirakan kebijakan pembatasan sosial menyebabkan penurunan pendapatan hingga 80 persen.
Imbauan #dirumahaja telah memunculkan permasalahan baru karena pengeluaran ekstra yang menyebabkan keuangan rumah tangga menjadi goyah. Daya beli sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah menurun hingga terpaksa banyak orang tetap keluar rumah untuk mencari sesuap nasi meski melanggar aturan pemerintah agar "dapur tetap ngebul."
Sejak awal merebaknya kasus COVID-19 di Tanah Air, pemerintah telah mengambil ancang-ancang dengan menyiapkan jaring pengaman bagi kelompok masyarakat golongan ekonomi lemah melalui bantuan tunai langsung, dana desa untuk penanggulangan COVID-19, bantuan sembako hingga kartu prakerja. Namun demikian, bantuan langsung yang diberikan untuk menyangga kebutuhan harian masyarakat tersebut tidak seimbang dengan penambahan jumlah orang yang kini daya belinya menurun akibat kehilangan pekerjaan.
Fenomena berbagi kebaikan
Menunggu dalam ketidakpastian akan berakhirnya wabah virus corona telah melahirkan kecemasan dan kegelisahan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang paling terdampak akibat kehilangan pekerjaan, karyawan yang dirumahkan, atau ojek online yang sementara waktu tidak menarik penumpang.
Banyak dari mereka yang kemudian tidak segan lagi menjual hartanya, menawarkan harta tersisa ke rumah keluarga yang lebih mampu untuk ditukar dengan uang agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Persoalan perut memang bukan lagi perkara kecil. Fenomena "kemiskinan terselubung" sebagai dampak COVID-19 yang bermunculan dari tingkat rukun tetangga hingga skala nasional menjadi kegelisahan tersendiri bagi sebagian orang dari kalangan menengah atas melihat kesulitan yang dialami masyarakat di sekitarnya.
Di televisi dan di situs media online di Jakarta, beberapa kali diberitakan kisah seseorang atau sekelompok masyarakat yang bertindak layaknya 'Robinhood', membagi-bagikan uang hingga sembako kepada pengemudi ojek online, pemulung, ojek sepeda dan kaum lemah terdampak COVID-19.
Berita tentang kebaikan itu tidak hanya sekadar menjadi kabar baik yang disiarkan di televisi dan media online tetapi kemudian menjadi viral di jagat media sosial sehingga mengundang pujian warganet hingga kemudian semakin menguatkan niat dari sekelompok milenial di Kota Bekasi untuk mewujudkan gerakan kebaikan bagi kelompok terdampak di wilayah tempat tinggalnya.
Dari obrolan ringan melalui "zoom", aplikasi berdiskusi via teknologi internet, empat sekawan Seviana Indrayani, Laurentia Amadea, Gabriella Olivia dan Benedicta Xenia membuat gerakan yang diberi nama #PatunganCebanBekasi #SenyumSapaSumbang. Gerakan ini terinspirasi dari #PatunganCeban yang sebelumnya sudah sukses dijalankan di Jakarta dan Malang.
Empat perempuan milenial yang sedang menyelesaikan skripsinya masing-masing dari Universitas Brawijaya Malang, Universitas Indonesia Depok Jabar, Universitas Diponegoro Semarang dan London School Communication and Business Institute Jakarta tersebut awalnya memanfaatkan jejaring pertemanan di media sosial untuk menghimpun dana hingga akhirnya timbul simpati dari warganet lainnya untuk menyisihkan dana sehingga bisa terkumpul jutaan rupiah.
Gerakan tersebut bertujuan mengajak orang-orang di Kota Bekasi dan sekitarnya untuk menyisihkan minimal Rp10.000 (ceban = 10.000) untuk membantu sesama yang membutuhkan akibat COVID-19. Sementara #SenyumSapaSumbang untuk menjalani anjuran pemerintah, yakni melakukan "physical distancing" dan menghindari kontak fisik, sebagai ganti senyum, sapa, salam maka mereka melakukan senyum, sapa, sumbang.
Gerakan mengumpulkan Rp10 ribu diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu bantuan sembako, nasi bungkus, masker, hand sanitizer namun tidak ada bantuan dalam bentuk tunai untuk menghindari masalah saat pembagian di lapangan.
Generasi milenial yang sering disebut Generasi "Y" cukup jeli membangun interaksi dengan sesama milenial melalui jejaring media sosial instagram dan twitter serta aplikasi messenger seperti whatsapp dan Line untuk berbagi kebaikan yang hasilnya tidak mengecewakan karena banyak yang antusias ingin membantu. Apalagi gerakan tersebut cukup sensitif karena terkait dengan dana yang harus dipertanggungjawabkan.
Dari jutaan uang terkumpul dari gerakan tagar #PatunganCebanBekasi #Senyumsapasumbang sebanyak 100 paket sembako sudah didistribusikan pada tahap pertama dan 100 nasi bungkus dinikmati masyarakat kecilyang membutuhkan. Dan masih akan ada lagi kegiatan bagi-bagi sembako, nasi dan masker tahap berikut hingga dana amanah para simpatis tunai dan impas dibagi kepada sesama yang membutuhkan.
Empat sekawan itu berjanji masih akan ada lagi kegiatan bagi-bagi sembako, nasi dan masker tahap berikut hingga dana amanah para simpatis tunai dan impas dibagi kepada sesama yang membutuhkan. Mereka sadar kalau aksi berbagi kebaikan itu hanya langkah kecil untuk menuju aksi-aksi kebaikan berikutnya guna membuktikan kalau generasi milenial tidak melulu hanya bisa main tiktok, atau egois tenggelam dalam dunianya, dunia gadget.