DIDADAMEDIA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai stabilitas sektor jasa keuangan sampai Maret masih dalam kondisi terjaga dengan intermediasi sektor itu masih membukukan kinerja positif dan profil risiko industrinya tetap terkendali meski perekonomian tertekan akibat merebaknya virus corona di banyak negara.
OJK sejak Februari lalu juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus perekonomian di sektor perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank yang diharapkan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus corona sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja industri jasa keuangan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
"OJK senantiasa memantau perkembangan ekonomi global yang sangat dinamis dan berupaya untuk terus memitigasi potensi risiko yang ada terhadap kinerja sektor jasa keuangan domestik," kata OJK dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat.
Dijelaskan, kondisi perekonomian global diperkirakan akan terkontraksi cukup dalam pada semester I-2020 dan mulai kembali pulih pada semester II-2020 seiring dengan wabah virus corona yang terus meningkat, khususnya di luar China. Namun demikian, pulihnya perekonomian global akan sangat bergantung pada berakhirnya wabah virus corona di tataran global.
Perekonomian AS dan Eropa diprediksi akan terkontraksi pada Kuartal II-2020 mengingat penyebaran virus corona di AS dan Eropa baru akan mencapai puncaknya pada April dan Mei, sedangkan perekonomian China diprediksi telah membaik pada Kuartal II (Q2)-2020 sejalan dengan mulai melambatnya penyebaran virus corona d China.
Besarnya sentimen negatif terkait penyebaran virus corona baik secara global maupun perkembangan di Indonesia mempengaruhi kinerja sektor jasa keuangan domestik, khususnya di pasar keuangan, baik pasar saham maupun SBN.
Menurut OJK, Sejak awal Maret 2020 sampai dengan 24 Maret 2020, investor nonresiden tercatat keluar dari pasar saham dan SBN masing-masing sebesar Rp6,11 triliun dan Rp98,28 triliun. Dengan kondisi tersebut, pasar saham melemah signifikan sebesar 27,79 persen mtd atau 37,49 persen (ytd) menjadi 3.937,6, diikuti dengan pelemahan di pasar SBN dengan imbal hasil (yield) yang rata-rata naik sebesar 118,8 bps (mtd) atau 95 bps (ytd).
"Pelemahan ini disebabkan pada kekhawatiran investor terhadap virus corona yang akan berdampak pada kinerja emiten di Indonesia," kata OJK.
Sementara itu, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan Februari 2020 bergerak sejalan dengan perkembangan yang terjadi di perekonomian domestik.
Kredit perbankan mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,93 persen (yoy), ditopang oleh kredit investasi yang tetap tumbuh dua digit di level 10,29 persen (yoy). Piutang pembiayaan Perusahaan Pembiayaan meningkat 2,82 persen (yoy).
Di tengah pertumbuhan intermediasi lembaga jasa keuangan, profil risiko masih terjaga dengan rasio NPL gross sebesar 2,79 persen (NPL net: 1,00 persen) dan Rasio NPF sebesar 2,66 persen.
Dari sisi penghimpunan dana, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 6,80 persen (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan kredit. Selain itu, sepanjang Februari 2020, industri asuransi berhasil menghimpun premi sebesar Rp46,5 triliun dan tumbuh sebesar 4,73 persen (yoy).
Sampai dengan 24 Maret 2020, penghimpunan dana melalui pasar modal telah mencapai Rp21,55 triliun. Adapun jumlah emiten baru pada tahun ini telah terdapat 13 perusahaan, dengan pipeline penawaran sebanyak 61 emiten dengan total indikasi penawaran sebesar Rp28,8 triliun.
Risiko nilai tukar perbankan berada pada level yang rendah pada Februari 2020, dengan rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 2,35 persen, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20 persen.
Sementara itu, kata OJK, likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Liquidity coverage ratio dan rasio alat likuid/non-core deposit masing-masing sebesar 212,30 persen dan 108,12 persen, jauh di atas threshold masing-masing sebesar 100 persen dan 50 persen.
Permodalan lembaga jasa keuangan terjaga stabil pada level yang tinggi. Capital Adequacy Ratio perbankan sebesar 22,42 persen. Sejalan dengan itu, Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 670 persen dan 312 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen.