DIDADAMEDIA, Yogyakarta - Peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Dr Mohammad Iqbal Ahnaf, menilai wacana pemulangan 600 orang asal Indonesia eks ISIS bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkuat kampanye kontra-radikalisasi di Tanah Air, kendati perlu dikaji dengan penuh kehati-hatian.
"Wacana ini bisa dipahami sebagai cara kita memerangi radikalisme. Harusnya ini menjadi pelajaran atau pesan bagi masyarakat kita bahwa bergabung dengan ISIS adalah sebuah kesalahan yang besar, bukan hanya ISIS saja tapi juga kelompok ekstremis lainnya," kata dia, di Yogyakarta, Senin (10/2/2020).
Menurut dia, wacana pemulangan ke-600 orang asal Indonesia yang tergabung dalam ISIS memang harus dikaji untung rugi atau faktor risikonya dengan menempatkan aspek keamanan negara sebagai hal utama.
Meski demikian, ia menilai perlu dibuka perspektif bahwa kemungkinan tidak semua WNI yang berangkat ke Suriah dan kemudian bergabung dengan ISIS dilandasi atas kemauan sendiri.
"Bisa saja, yang berangkat ke sana karena dibawa kemudian mengalami proses radikalisasi di sana, atau ke sana karena tertipu," kata dia.
Pada sisi lain, kontroversi yang seru terjadi di media sosial berlandas wacana ini. Penyebutan ke-600 orang asal Indonesia itu juga dilaksankan dengan dua cara, yaitu WNI eks ISIS dan eks WNI anggota ISIS. ISIS bukanlah suatu negara --apalagi berdaulat-- namun dia memiliki sayap militer dan anggota-anggota paramiliter yang sangat militan, mendapat pelatihan militer, dan peralatan penghancur laiknya militer.
Sementara di dalam UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan diatur tentang kehilangan otomatis hak kewarganegaraan seorang WNI, yaitu apabila (huruf d pasal 23) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; dan (huruf f pasal 23) secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Apabila wacana pemulangan orang asal Indonesia eks-ISIS direalisasikan, menurut dia, pemerintah dapat memprioritaskan pemulangan terhadap kelompok kategori rentan seperti anak-anak dan kaum perempuan atau yang paling ringan risikonya.
"Utamanya kaum perempuan, apalagi anak-anak. Jangan-jangan ada anak-anak yang lahir di sana," kata Iqbal.
Berikutnya, kata dia, ada tahapan ketat yang harus dilalui. Sebelum bisa dipulangkan, mereka juga harus menjalani proses screening (penyaringan) yang bisa dilakukan bekerja sama dengan pemerintah Suriah.
"Kemudian ketika sampai di Indonesia, mereka juga tidak bisa serta merta bergabung dengan masyarakat. Harus ada proses karantina atau pembinaan dulu sampai benar-benar hilang pengaruh buruknya," kata Iqbal.
Sebelumnya, guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof Dr Hikmahanto Juwana, memandang 600 orang asal Indonesia yang tergabung dalam ISIS (eks-ISIS) telah kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
Hal itu, kata Hikmahanto mengacu pasal 23 UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan.
"Nach istilah bagian dari negara asing itu bisa saja pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintah yang sah. Bukankah ISIS (itu) pemberontak yang ada di Suriah? Bahkan mereka menggunakan cara-cara teror untuk menggantikan negara Suriah dan Irak," katanya.