DIDADAMEDIA - Keikutsertaan Indonesia pada ajang Homeless World Cup (HWC) 2018 di Zocalo Capitalino, Mexico City merupakan yang kedelapan kalinya. Setiap kali mengirimkan tim, Rumah Cemara, penyelenggara nasional HWC di Indonesia selalu membawa visi ‘Indonesia Tanpa Stigma’.
Hal ini sejalan dengan semangat penyelenggaraan HWC yang bermula dari keinginan Mel Young dan almarhum Harald Schmied untuk membantu mengatasi masalah sosial dengan street soccer atau sepak bola jalanan. Mereka berpandangan sepak bola dapat membantu mereka yang terisolasi akibat ketunawismaan atau terpinggirkan dari masyarakat.
Lewat sepak bola, mereka bisa berkomunikasi dengan yang lain, membangun hubungan dan menjadi teman satu tim yang belajar berbagai dan saling percaya. Ada tanggung jawab saat mereka harus menghadiri waktu latihan dan kompetisi. Pada tahun 2018 ini, Indonesia mengirimkan delapan pemain dengan beragam latar belakang.
“Kami ingin setiap pemain bisa menyampaikan ceritanya dan melakukan perubahan terhadap dirinya sendiri pascaturnamen ini,” kata manager tim Indonesia, Yana Suryana di Mexico, Sabtu (17/11/2018) dalam siaran persnya.
Salah satu pemain yang mendapatkan banyak sorotan adalah Eva Dewi Rahmadiani (34). Sehari-hari dia menjadi orang tua tunggal bagi tiga putrinya di Bandung. Perempuan yang hidup dengan HIV ini tercatat sebagai relawan untuk kegiatan pengembangan olahraga sosial di Rumah Cemara, organisasi berbasis komunitas untuk orang dengan HIV/AIDS serta pengguna narkoba.
Kehadiran Eva di tengah-tengah tujuh pemain lelaki menarik perhatian karena tidak banyak negara yang menurunkan tim campuran. Dari 11 partai yang sudah dijalani Indonesia, Eva sempat dimainkan saat menghadapi Prancis dan Zimbabwe. Dia juga mendapatkan peluit dan badge ‘respect’ dari wasit yang ada di lapangan sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas performanya dalam kompetisi.
“Sejak terlibat tahun 2013 sampai sekarang sudah banyak anak-anak yang Eva latih life skill lewat sepakbola bersama Rumah Cemara. Misalnya mereka tidak percaya diri, bisa makin percaya diri. Ada yang tidak berani mengemukakan pendapatnya, sampai bisa bicara di depan yang lain,” ujar Eva memberikan contoh perubahan sosial yang bisa dicapainya lewat sepak bola.
Pemain lain yang mendapatkan peluit dari wasit adalah Samsul Rizal, 26 tahun, asal Lombok. Mantan pengguna narkoba ini mengenal sepak bola jalanan dari League of Change, kompetisi untuk seleksi HWC yang digelar Rumah Cemara.
“Perubahan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat latar belakang. Saya bercita-cita mendirikan Rumah Harapan sepulang dari Mexico, tentunya mau belajar dulu di Bandung untuk tahu lebih dalam soal komunitas,” kata Rizal yang aktif di Aksi NTB ini.
Keaktifan Rizal ini menular pada Adam Riyaldi (21) yang sudah menggunakan narkoba sejak duduk di bangku SMP. Dia mengetahui sepak bola bisa mengubah hidupnya karena banyak bergaul dengan rekan-rekan komunitas di Aksi NTB.
Sebelumnya, anak pertama dari lima bersaudara ini kerap merasa gelisah dan kesepian. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan sabu. Pikirannya selalu terfokus pada hal itu. “Ikut HWC ini jadi momen untuk membuktikan stigma pecandu yang buruk di masyarakat itu bisa berubah dan dipatahkan,” ujar Adam.
Kapten tim Dego Z Arifin, 25 tahun punya cerita lain. Mahasiswa Universitas Islam Nusantara ini menjadikan sepakbola sebagai pegangan hidupnya. “Dego sering gacong (jadi pemain bayaran) untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Uang memang sudah tidak minta dari orang tua karena kuliah juga dapat beasiswa,” ujar Dego.
Sepulang dari Mexico, Dego berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan mau menerima perbedaan pada diri setiap orang. “Kalau sampai ada yang menawari kesempatan bermain di liga, tentu akan Dego ambil,” imbuhnya.
Rekan dekat Dego, Rizal Ferdian Somawijaya (23) merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Segudang prestasi sudah ditorehkan CB, begitu dia disapa rekan-rekan satu timnya, lewat ajang futsal di dalam dan luar negeri. Dalam kesehariannya, CB menjadikan sepak bola sebagai pegangan hidup.
“Momen HWC ini jadi pembelajaran. Ada rasa tanggungjawab mulai dari hal-hal kecil seperti bangun pagi, mencuci piring, baju team, dan saling menghargai,” ungkap CB.
Pemain lainnya, Moh. Fajar Priatna, 25 tahun asal Sumedang harus menjual burung kesayangannya untuk bisa membuat paspor guna keberangkatan ke Mexico. Peraih beasiswa Bidik Misi di Universitas Pendidikan Indonesia ini mengikuti seleksi HWC karena ingin menjadi pribadi yang lebih baik.
“Sepak bola dapat memfasilitasi orang yang kurang beruntung menjadi pribadi yang berprestasi. Fajar ingin bisa mewujudkan itu di Sumedang,” terangnya.
Dua pemain lainnya berasal atau berkuliah di Yogyakarta. Masing-masing adalah Miftah Ul Maarif, 19 tahun dan Yandi Abdul Rajab, 24 tahun. “Tambah pengalaman, kalau kita mau mengubah lingkungan sekitar harus dimulai dari dalam diri,” kata Miftah yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta lewat program Bidik Misi.
Sementara Yandi, pemain yang paling jarang bicara ini menjadikan HWC sebagai ajang pembuktian jika sepakbola itu tidak mengenal batasan. Dia mengambil contoh dirinya yang datang dari keluarga kurang mampu tapi bisa lolos dan bermain bola di luar negeri. Bukan sekadar bermain bola tapi juga mewakili negara. “Pembuktian dengan kerja keras dan doa tidak akan pernah mengkhianati hasil,” tegas Yandi.