DIDADAMEDIA, Bandung - Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia (RI) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menggelar 'Seminar Pencegahan Ujaran Kebencian dan Sebaran Hoaks' di Aula Barat Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (3/12/2019).
Dalam seminar yang diikuti pelajar, mahasiswa, dosen, serta bagian hukum pemda kab/kota di Jabar ini, ditegaskan pentingnya bijak bermedia khususnya media sosial agar tidak terjerumus dalam hate speech (ujaran kebencian) dan hoax (hoaks/berita bohong).
Pasalnya di era disrupsi saat ini, media sosial memang menjadi platform utama penyebaran informasi. Jika tidak digunakan dengan bijak dan sesuai etika, media sosial adalah lahan subur untuk menyebarkan konten terlarang, hate speech, hoax, cyber-bullying, hingga penyebaran virus komputer.
Untuk itu, Direktur Kerja Sama HAM Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham Bambang Iriana Djajaatmadja mengimbau pengguna media sosial (medsos) untuk berpikir sebelum menulis (posting) dan berpikir sebelum menyebarkan konten (share).
"Saat ini yang hilang dari kita adalah etikanya. Postingan kita juga harus ada rambu-rambunya. Dulu mulutmu harimaumu, sekarang statusmu harimaumu," kata Bambang.
"Berhati-hatilah dalam menggunakan media sosial. Kekecewaan penting (diutarakan), tapi think twice sebelum di-posting," tambahnya.
Terkait hate speech, lanjut Bambang, bentuk paling banyak berupa penghasutan, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan provokasi.
Semua itu bisa menjadi 'kuburan' bagi pengguna medsos karena melanggar UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) khususnya Pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Selain itu, perilaku di medsos lainnya yang bisa dikenakan sanksi hukum antara lain hoax, pengancaman, peretas sistem data elektronik, pencurian data elektronik, serta akses ilegal.
Bambang berujar, pihaknya rutin bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengedukasi masyarakat terkait pentingnya etika bermedia terutama menghindari hate speech dan hoax.
Adapun Kapolri pun telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian untuk menangani kasus tersebut.
"Jadi Polri selalu menggandeng Kemenkumham atau kami menggandeng Polri untuk menunjukkan efek takutnya. 'Ini loh, Polisi yang ngomong'," kata Bambang.
Bambang pun mengingatkan agar masyarakat tidak menyebarkan berita yang tidak bermanfaat dan belum pasti kebenarannya.
"Karena yang berat itu menyetop berita (hoax) sebetulnya, bagaimana memutus berita itu agar tidak diserap masyarakat. Apalagi audio visual (video) bisa dipotong-potong, ditambah dengan narasi," kata Bambang.
"Saat ini, orang cenderung inginnya instan, melihat banyak membaca sedikit. Ini membuat kans penyebaran hoax semakin tinggi. Jadi setop menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya," imbaunya.
Bambang pun menyatakan, banyaknya pelaku tindak pidana ujaran kebencian yang terkena hukuman bukanlah prestasi bangsa ini, melainkan cermin kegagalan negara dalam melakukan penanggulangan tindak pidana tersebut.
Menutup komentarnya, Bambang menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya menanggulangi (non pidana) hate speech melalui kerja sama dengan media sosial seperti Youtube, WhatsApp, Twitter, Instagram, hingga Facebook untuk mengawasi dan memblokir bentuk chatting dan berita yang mengarah kepada hate speech.
Langkah preventif lain dilakukan dengan menggandeng tokoh masyarakat dan agama, serta melakukan sosialisasi dan penyuluhan/diseminasi informasi larangan ujaran kebencian untuk menekan potensinya.
ASN, Bijak Bermedia Sosial!
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Kemendagri R. Gani Muhamad melihat fenomena Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terjerat kasus ujaran kebencian sebagai ketidakpahaman yang bersangkutan atas posisinya sebagai ASN.
“Tentu kita sebagai ASN ada aturan-aturan, etika, kode etik yang harus kita jaga karena kita bagian dari pemerintah. Seharusnya kita menyuarakan program-program pemerintah yang baik, bantu suarakan dan redam ujaran kebencian (yang ditujukan pada pemerintah) seperti itu,” katanya usai seminar.
“Di satu sisi kita tidak menghilangkan peran kita di dalam ‘keyakinan’, tetapi kita juga membantu menyuarakan (kebaikan) di mana kita mengabdi. Itu sikap yang harus diambil oleh seorang ASN,” katanya.
Gani juga menjelaskan beberapa tahapan jika seorang ASN kedapatan melakukan tindakan ujaran kebencian. Menurutnya, ASN bisa kena aturan disiplin, mulai dari teguran ringan, teguran berat, hingga pada skorsing dan pemberhentian. “Semua organisasi pasti memiliki aturan mainnya sendiri-sendiri, tugas kita adalah mengikutinya,” ujar Gani.
Secara pembinaan, Gani mengaku melakukannya secara berjenjang, dari level pimpinan hingga ke bawah. “Kita kasih pemahaman, jangan sampai memaksakan idealisme atau ideologi ke tempat kita mengabdi. Semua harus balance, kita cari titik temunya,” tambahnya.
Sebagai ASN, menurut Gani, tidak ada pembatasan hak untuk mengeluarkan pendapat, namun ASN harus sadar diri pada saat kita terikat dalam suatu organisasi ada aturan yang membatasi, itu konsekuensi logis. “Mengeluarkan pendapat itu kalau memang sekiranya perlu disampaikan ya sampaikan, namun dengan cara yang etis. Kalau cara penyampaian kita sesuai etika, orang ngga akan tersinggung,” paparnya.
ASN dan ujaran kebencian diakui Gani menjadi fokus perhatian utama pemerintah pusat saat ini. Karena menurutnya ini adalah salah satu tindakan preventif. Menurutnya, dari hal yang kecil harus diantisipasi jangan sampai menjadi hal yang besar akan sulit mengobatinya karena sudah mengakar. Pihaknya menaruh perhatian besar pada hal ini, saling mengingatkan dari level pimpinan hingga terus ke bawah, agar menyelenggarakan pemerintahan ini dengan sejuk.
Gani lebih lanjut memberikan tips untuk ASN dalam bermedsos. “Bijak, saring sebelum sharing, dan kalau memang ada yang perlu dikritik sampaikan dengan cara-cara yang etis dan pantas. Jika tidak, lebih baik simpan saja dalam hati,” tutupnya.