DIDADAMEDIA, Bandung - Melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat No.561/Kep.983-Yanbangsos/2019, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menetapkan pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2020 di daerah Provinsi Jabar.
Kepgub yang ditandatangani pada 1 Desember 2019 itu mengatur pelaksanaan UMK 2020 dengan sembilan diktum, termasuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat No.561/75/Yanbangsos tanggal 21 November tentang UMK di Jabar Tahun 2020.
Dalam Kepgub tersebut, Kabupaten Karawang memiliki upah tertinggi di Jabar sekaligus nasional dengan nominal Rp 4.594.324,54. Upah terendah adalah Kota Banjar sebesar Rp 1.831.884,83.
Pakar hukum perburuhan Saut Kristianus Manalu menilai, Kepgub bernomor No.561/Kep.983-Yanbangsos/2019 itu tepat dan mengakomodasi semua pihak. Dia pun menyoroti diktum 7 huruf D terkait ruang perundingan bipartit bagi perusahaan padat karya.
“Kepgub ini memberikan satu ketentuan bagi industri padat karya, itu artinya berapa besaran upah dirundingkan (antara pekerja dan perusahaan). Itu pun bagi industri padat karya yang menyatakan tidak mampu,” kata Saut di Kota Bandung, Senin (2/12/19).
Menurut Saut, diktum 7 huruf D harus dipandang dengan itikad baik. Itikad baik sendiri merupakan kesepahaman semua pihak dalam melihat situasi teraktual. Dalam hal ini, pekerja memahami keberlangsungan usaha, sedangkan perusahaan memahami kebutuhan pekerja.
“Perundingan untuk padat karya. Itikad baik itu seperti ini, pengusaha secara terbuka dan dapat dipertanggunjawabkan menyatakan tidak mampu membayar UMK 2020. Tapi, kemudian, dia mengatakan, saya mampu menaikan berapa persen, tapi tidak bisa memenuhi UMK,” katanya.
“Pekerja harus bisa memahami kondisi ini. Bahwa begitulah kondisi perusahaan, sehingga dilakukan perundingan yang besaran tidak sesuai dengan Upah Minimum 2020. Jadi, kedua belah pihak bisa menerima pun kalau jumlah di bawah UMK,” imbuhnya.
Saut juga menegaskan, diktum 7 huruf D merupakan kebijakan tepat manakala melihat kondisi industri padat karya yang mengalami penurunan dalam keberlangsungan usahanya.
Hal tersebut terlihat dari data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar. Dalam kurun 2016-2019, misalnya, 45 perusahaan industri garmen tutup, 4 perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja, 2 perusahaan pindah kab/kota di Jabar, dan 7 perusahaan lainnya pindah provinsi. Penutupan, pengurangan, dan perpindahan itu membuat 83.192 orang kehilangan pekerjaan.
Apalagi, menurut Saut, perundang-undangan dan keputusan Mahkamah Konstitusi memperbolehkan perusahaan pindah ke daerah yang upah minimun lebih rendah maupun tutup permanen –tanpa ada hambatan.
“Bila pengusaha tidak mampu, ada kemungkinan untuk pindah. Pengusaha keberatan dengan UMK, dia punya hak untuk pindah ke UMK yang lebih rendah. Tidak ada hambatan. Kalau dalam UU kita disebutkan pengusaha yang pindah berhak membawa atau mem-PHK,” ucapnya.
“Yang saya khawatirkan bukan keputusan, tetapi dampak sosial ekonomi yang dihasilkan oleh perundang-undangan. Ada hak dari pekerja untuk mendapatkan kenaikan, tetapi para pekerja punya risiko kehilangan pekerjaan,” tambahnya.
Sementara itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyatakan bahwa Kepgub dibuat dengan perhitungan tajam, rinci, dan mempertimbangkan semua hal. Itu dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak –pekerja maupun pengusaha.
“Tujuan saya mencegah PHK, mencegah pindahnya perusahaan-perusahaan karena tidak sanggup UMK. Untuk pada karya, diinisiatifkan perlindungannya caranya bermartabat dengan poin yang sama sampaikan,” kata Emil di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Senin (2/12/19).
“Yang penting semua harus ada persetujuan Pemerintah Provinsi. Jadi, kami wasitnya. Jadi, jangan ada yang mengaku mampu, tapi mengaku tidak mampu padahal dia mampu. Kita akan membuat mekanismenya,” tutupnya.