DIDADAMEDIA - Pemerintah Korea Selatan dan Jepang pada Senin saling melempar kritik padahal beberapa hari sebelumnya dua negara telah sepakat untuk menyelamatkan perjanjian pertukaran informasi intelijen, yang dianggap penting bagi sejumlah pihak.
Aksi saling kecam antara Korsel dan Jepang menunjukkan betapa rapuh hubungan kedua negara bekas musuh masa perang itu, yang juga sama-sama merupakan sekutu perang Amerika Serikat.
Pejabat pemerintah dua negara kerap mengkritik atau membuat pernyataan sanggahan terhadap satu sama lain. Dalam berbagai pemberitaan, Tokyo belum memastikan pihaknya akan meminta maaf terkait pernyataan mengenai perjanjian, yang dinilai pihak Seoul kurang akurat.
Di bawah tekanan Washington, Korsel akhirnya menyepakati perjanjian GSOMIA pada menit terakhir. Keputusan Korsel menjadi momen cukup dramatis di tengah sejarah pertikaian dan kompetisi dagang dua negara itu.
GSOMIA (General Security of Military Information Agreement) atau Perjanjian Keamanan Umum Pertukaran Informasi Militer merupakan simbol kerja sama bidang keamanan antara kedua rival. Di samping itu, GSOMIA merupakan bentuk kemitraan trilateral antara Korsel, Jepang, dan AS.
Menurut Tokyo, Seoul telah membuat keputusan strategis, dan Pemerintah Jepang berharap kedua negara dapat memulai perundingan kerja sama dagang. Walaupun demikian, rencana itu tidak serta merta mengembalikan status istimewa Korea Selatan sebagai pengekspor.
Sementara itu, sejumlah pejabat di Istana Kepresidenan Gedung Biru (Cheong Wa Dae/Blue House) di Seoul pada Minggu (24/11) mengatakan mereka telah melayangkan protes dan menerima pernyataan maaf dari pihak Jepang.
Protes itu ditujukan setelah Kementerian Perdagangan Jepang mengumumkan pihaknya akan meningkatkan pengawasan terhadap tiga produk ekspor yang menjadi bahan dasar semikonduktor. Produk ekspor itu merupakan komoditas yang cukup dibutuhkan oleh industri telekomunikasi di Jepang.
Bagi Seoul, pengumuman Tokyo "sangat berbeda" dari kesepakatan yang dibuat dua pihak.
Istana Kepresidenan Korsel pada Senin menyoroti berita yang dimuat koran Jepang, Yomiuri. Dalam tulisan iu, pejabat Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan "tidak benar" bahwa Tokyo telah meminta maaf kepada Seoul.
"Untuk mengklarifikasi kabar ini sekali lagi, kami telah mengajukan protes dan Jepang meminta maaf," kata pejabat senior bidang media Cheong Wa Dae, Yoon Do-han dalam siaran tertulisnya. "Media Jepang dan Korsel tengah memainkan isu ini, tetapi kami tahu mana yang benar," tambah dia.
Kurang dari dua jam setelahnya, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menyanggah pernyataan Yoon. Ia menjelaskan pembatasan ekspor "tidak terkait dengan GSOMIA".
"Tak begitu produktif bagi kami untuk mengomentari setiap pernyataan Korsel, tetapi tidak benar apabila pemerintah Jepang telah meminta maaf," kata Suga dalam pertemuan dengan media.
Pertikaian antara Jepang dan Korsel salah satunya dipicu ketidaksepakatan terhadap pemberian kompensasi ke para warga Korsel yang dipaksa bekerja di perusahaan Jepang selama masa pendudukan pada periode 1910 sampai 1945.
Mahkamah Agung Korsel pada tahun lalu memerintahkan pemberian kompensasi sehingga sejumlah bekas pekerja paksa berupaya menguasai aset-aset milik perusahaan Jepang yang ada di Negeri Ginseng. Namun, Jepang membalas aksi Korsel dengan melakukan pembatasan beberapa komoditas ekspor.
Walaupun demikian, otoritas dagang dua negara kemungkinan akan bertemu secepatnya pada awal pekan ini untuk membahas isu tersebut.
Menteri luar negeri dua negara pada Sabtu (23/11) sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan antara Presiden Korsel Moon Jae-in dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di sela-sela pertemuan trilateral dua negara itu dengan China pada Desember.
Moon dan Abe dalam satu tahun terakhir ini belum bertemu lagi untuk berbincang secara resmi, meskipun keduanya sempat bertukar pikiran selama 11 menit dalam sesi konferensi internasional di Thailand pada awal November.
Pejabat senior Gedung Biru Korsel pada Minggu mengatakan ia "kecewa" melihat berita yang dimuat koran Jepang, Asahi. Dalam berita yang mengutip pernyataan Abe itu, disebutkan "Tokyo belum kehilangan apa pun" sementara Korsel "telah menyerah dari tekanan kuat AS".
"Saya mempertanyakan apakah pernyataan semacam itu yang secara sadar akan disampaikan oleh pemimpin Pemerintah Jepang," ujar pejabat senior Korsel kepada awak media.