DIDADAMEDIA, Bandung - Indonesia merupakan wilayah yang sangat tinggi tingkat kegempaannya, hal ini disebabkan karena wilayah Indonesia merupakan wilayah pertemuan empat lempeng besar.
Keempat lempeng tersebut adalah Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia yang relative bergerak ke utara, Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat, serta Lempeng Laut Philiphina yang berada diutara Sulawesi Utara.
Untuk monitoring aktivitas kegempaan, pemerintah sejak tahun 2005 telah membangun jaringan seismik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk monitoring kegempaan dan deteksi tsunami.
Dalam perkembangannya BMKG mempunyai suatu sistem yang dinamakan InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Sistem ini dikembangkan setelah terjadinya tsunami yang cukup dasyat yang menimpa wilayah Aceh pada tahun 2004.
BACA JUGA :
Tepatnya tahun 2005 pemerintah Indonesia dibantu dan didukung oleh banyak negara seperti Jerman, China, Jepang dll, membuat suatu sistem peringatan dini yang dinamakan InaTEWS.
Selama kurang lebih 3 (tiga) tahun sistem ini dibangun, dan pada tahun 2008 sistem ini resmi dipergunakan oleh Indonesia (BMKG) ditandai dengan diresmikannya InaTEWS oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
"Sistem ini harus kita akui masih banyak kekurangannya, tetapi ini merupakan suatu loncatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kondisi sebelum peristiwa Gempabumi dan tsunami Aceh 2004," kata Kepala BMKG Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D, Jumat (25/10/2019).
Seiring waktu, dari tahun ke tahun sistem ini mengalami penyempurnaan atau update baik peralatan, processing maupun sistem diseminasinya, yang awalnya BMKG menentukan parameter gempabumi sekitar 5 (lima) menit setelah terjadi gempabumi, BMKG akan melakukan lompatan menentukan parameter gempabumi menuju 3 (tiga) menit, tentunya lompatan ini merupakan suatu kemajuan yang cukup signifikan.
Pada tahun 2018 kita dikejutkan oleh 3 (tiga) peristiwa gempabumi dan tsunami yang menyita perhatian kita bahkan dunia international yaitu gempabumi Lombok, gempabumi dan tsunami di Palu serta tsunami di Selat Sunda.
Khusus tsunami Palu dan Selat Sunda, ini merupakan fenomena baru dalam di Indonesia. Di Palu terjadi fenomena-fenomena yang baru terjadi di Indonesia yaitu liquifaksi yang cukup luas wilayahnya serta tsunami yang disebabkan oleh longsoran bawah laut, dimana longsoran bawah laut tersebut dipicu oleh goncangan gempabumi.
Sedangkan fenomena tsunami di Selat Sunda juga fenomena baru buat Indonesia, yaitu Tsunami yang dipicu oleh longsoran dari anak gunung Krakatau, tsunami yang bukan disebabkan oleh aktivitas tektonik, tsunami semacan ini baru terjadi di Indonesia.
"Dengen fenomen-fenomena tersebut BMKG berupaya menyempurnakan system yang telah ada dengan memasukan fenomena fenomena non tektonik. Saat ini BMKG telah mempunyai sistem untuk tsumani tersebut yaitu InaTNT (Indonesia Tsunami Non Tektonik) yang dikembangkan sejak awal tahun 2019," katanya.
Pada tahun 2019 pemerintah Indonesia melalui BMKG mengucurkan dana yang cukup signifikan untuk perbaikan system InaTEWS, mulai dari sistem monitoring yaitu perapatan jaringan seismograph di seluruh Indonesia dengan pemasangan 194 seismograph sekaligus dengan sistem komunikasinya.
Sehingga dengan semakin rapatnya jaringan seismik, diharapkan akan lebih cepat dalam penentuan parameter gempabumi dan semakin akurat hasil analisanya, sehingga informasi yang cepat dan akurat akan meminimalisir jatuh korban, ini merupakan salah satu terobosan kami di BMKG.
Terobosan yang lain selain penambahan seismograph yang digunakan untuk monitoring aktivitas seismik di Indonesia, BMKG juga melakukan terobosan yang lain di bidang prosessing, yaitu peningkatan proses auto processing yang lebih cepat serta terobosan ketiga adalah terkait diseminasi, BMKG membuat aplikasi-aplikasi baru untuk moda diseminasi, misalnya melalui WRS mobile juga WRS realtime yang akan dipasang di kabupaten/kota diseluruh Indonesia.
Dengan telah diresmikannya pembangunan shelter dan instalasi seismograph oleh Kepala BMKG tanggal 25 Oktober 2019 dan menandai secara simbolis pembangunan shelter di 194 lokasi diseluruh Indonesia maka sistem peringatan dini tsunami Indonesia akan memulai babak baru.
Selain itu pada tahun 2020 BMKG membangun sistem peringatan dini gempabumi/ Earthquake Early Warning System (EEWS), suatu metoda yang memanfaatkan selisih waktu kecepatan penjalaran gelombang Primer dan Sekunder, meskipun selisih waktunya sangat singkat.
Tetapi akan sangat berguna untuk mematikan system lain yang ada seperti sistem jaringan gas Pertamina untuk menghindari kebakaran, sistem kereta api cepat Jakarta-Bandung, sistem ini juga akan dikembangkan di fasilitas fasilitas publik sehingga akan sangat membantu dalam memimalkan korban. Sistem ini telah banyak diujicobakan seperti di Jepang, China serta beberapa negara di Eropa.