DIDADAMEDIA, Bandung - BPOM RI pada 4 Oktober 2019 merilis tentang penarikan produk ranitidin yang terkontaminasi n-nitrosodimethylamine (NDMA).
Hal itu dilatarbelakangi pada 13 September 2019, US FDA dan EMA yang mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam jumlah relatif kecil pada sampel produk mengandung bahan aktif ranitidin, dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami.
Studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
NDMA disinyalir sebagai sumber karsinogen atau zat penyebab kanker pada manusia. NDMA juga dikenal sebagai pencemar lingkungan yang kerap ditemukan dalam air, makanan termasuk daging, produk susu, dan sayuran.
Terkait itu, Ketua Asosiasi BPSK Jabar, Firman Turmantara menilai negara tidak optimal hadir dalam melindungi konsumen atau mengawasi kesehatan masyarakat.
"Sungguh mengecewakan. Singapura sudah jauh-jauh hari telah melarang 8 Jenis Obat Asam Lambung yang Tercemar NDMA, dan melansir situs resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), beberapa obat Ranitidine tengah dikaji karena mengandung pengotor nitrosamine yang kerap disebut dengan N-Nitrosodimethylamine (NDMA) dengan kadar rendah,"kata Firman, Rabu (9/10/2019).
Obat ranitidin sendiri, oleh Badan POM diketahui telah disetujui pada tahun 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu. Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi.
Dengan baru dihentikannya peredaran Obat Asam Lambung Ranitidin yang tercemar NDMA oleh BPOM, hal ini merupakan langkah yang terlambat. Karena negara yang seharusnya melindungi konsumen ternyata terlambat hadir.
"Pertanyaannya, mengapa negara harus melindungi konsumen? Konsumen adalah kekuatan besar bagi suatu negara dalam membangun perekonomiannya," ucapnya.