DIDADAMEDIA, Cianjur - Seratusan nelayan di pesisir pantai selatan Cianjur, memilih menjadi buruh tani atau buruh serabutan saat cuaca ekstrem sehingga tidak mungkin melaut.
Selama musim paceklik ikan ditambah cuaca ekstrem sejak beberapa bulan terakhir, mereka beralih profesi bahkan tidak sedikit yang menganggur karena tidak memiliki keahlian lain.
"Hanya 40 persen dari 700 orang nelayan yang masih memaksakan diri melaut, meskipun risiko yang dihadapi cukup tinggi karena gelombang tinggi yang terjadi sejak beberapa bulan terakhir," kata Hadi Hidayat tokoh nelayan Pantai Jayanti seperti dilansir Antara Selasa (27/8/2019).
Ia menuturkan sejak beberapa bulan terakhir sebagian besar nelayan memilih menjadi buruh tani atau memperbaiki jala dan perahu agar dapat digunakan kembali saat musim ikan datang.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ungkap dia, nelayan memilih berutang atau menjadi buruh serabutan pada pemilik kapal atau tengkulak ikan karena tidak memiliki keahlian lain.
Saat ini, ungkap dia, harga ikan cukup tinggi seperti tongkol dijual dengan harga Rp35-40 ribu per kilogram, salmon Rp50 ribu per kilogram dan tuna mencapai Rp60 ribu per kilogram.
"Tingginya harga ikan tidak sebanding dengan hasil sekali melaut yang tidak sampai ke tengah karena cuaca ekstrem dan belum masuk musim ikan. Sebagian kecil hanya melaut selama satu hari yang biasanya sampai berhari-hari," katanya.
Sementara Yuni pedagang ikan di Pantai Jayanti, terpaksa membeli ikan ke wilayah Sukabumi atau Pangandaran untuk memenuhi pesanan dari langanan karena minimnya hasil tangkapan nelayan di wilayah tersebut.
"Sudah masuk dua bulan, untuk memenuhi pesanan, kami membeli dari nelayan di Sukabumi atau Pagandaran karena nelayan yang melaut berkurang akibat cuaca ekstrem ditambah belum masuk musim ikan," tuntasnya.