Pengelolaan Sampah di Pasar Ciwastra Jadi Proyek Percontohan

pengelolaan-sampah-di-pasar-ciwastra-jadi-proyek-percontohan Pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra. (Humas Pemkot Bandung)

DIDADAMEDIA, Bandung - Pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra menjadi proyek percontohan untuk mengelola sampah di pasar tradisional. Bahkan, meski baru berjalan enam bulan, pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra tersebut sudah didatangi banyak orang.

“Kemarin-kemarin baru ada yang dari ITB, terus orang Jepang aja ke sini sampai dua kali. Waktu itu juga ada dari UNDP (United Nations Development Programs) PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bareng sama kementerian perindustrian dan perdagangan,” ungkap Petugas Pengelolaan Sampah Pasar Ciwastra, Tatang Sobarna.

Dituturkannya, selain sampah yang dihasilkan dapat bermanfaat, pengelolaan sampah juga ternyata menarik minat lantaran output yang dihasilkan dari pemanfaatan sampahnya pun memiliki nilai ekonomi. Yang tertarik juga mulai dari warga sekitar yang ingin belajar mengolah sampah sampai ke orang luar negeri untuk meneliti proses pengelolaan sampah.

Lebih detail ia  menjelaskan, pengelolaan sampah yang terkumpul dimulai dengan memadatkan dulu lewat pencacahan ditumbuk atau digiling sehingga kadar airnya menjadi 1:1 (1 kg sampah dengan kandungan 1 liter air). Lalu dengan metode wasima (wadah sisa makanan) itu dimasukan ke kotak itu untuk difermentasikan. Sekitar 50 persen airnya juga keluar lagi dan setengahnya lagi tinggal dikompos.

Sedangkan sampah sayuran atau buah-buahan yang masih utuh namun tidak layak jual, pisahkan untuk membuat silase, semacam pakan ternak permentasi. Silase ini menjadi salah satu pakan khusus untu penggemukan hewan ternak.

“Jadi setelah dipilah lalu dicacah sekitar 3-5 cm, ditambah dedak lalu tambah garam dan mol terus dipermentasi secara tertutup. Setelah 5-7 hari baru bisa dipakai untuk pakan ternak. Ini kekuatannya bisa tahan sampai 6 bulan,” terangnya.

Dari hasil pemilahan Kang Pisman ini pulalah Tatang berhasil menciptakan inovasi sebuah wadah khusus untuk proses pengomposan. Dia membuat tempat pengomposan yang terbuat dari sampah cangkang buah kelapa.

Ia juga memaparkan, wadah pengomposan dari serabut kelapa ini memiliki bangak keunggulan jika dibandingkan mengggunakan drum ataupun metode bata terawang. Hanya saja, pembuatannya untuk saat ini masih memerlukan waktu lantaran dibuat secara manual.

“Kalau kompos kan harus ada kelembapan dan udara yang cukup, nah ini juga menyerap bau pada saat proses pengkomposan, karena kalau kurang udara muncul amonia dan H2S cairan karena kelembapan tinggi jadi bau. Ini buatnya ya kalau ga ‘ditakolan’ sendiri atau ya kalau truk ada yang jalan dilindas ban,” bebernya.

Untuk satu liter cairan berupa bibit pupuk cair yang dihasilkan dihargai Rp 20.000. Magot hidup seharga Rp7.000 per kilogram, silase pakan ternak permentasi dijual Rp 400 per kilogram. Kemudian pupuk padat hasil pengomposan seharga Rp1.000 per kilogram dan pupuk padat sisa pengembangbiakan magot dijual Rp5.000 per kilogram.

“Belum lagi ada Ecoenzime buat pembersih yang sekarang masih kita teliti, mol, bioekstrak dan asap yang dicairkan bisa jadi bahan pengawet. Lalu sisa yang padatnya itu kan bisa menjadi media tanam. Ini juga didukung karena bagaimana caranya pasar juga ikut berusaha agar pasar lebih bersih sehingga konsumen datang,” katanya.

Editor: redaktur

Komentar