DIDADAMEDIA, Bandung - Selama masa pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SMA/SMK Negeri Jawa Barat, Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat menerima empat laporan dari warga.
Meski jumlahnya minim, tapi secara dampak ternyata berpotensi merugikan 341 siswa jika terbukti adanya penyalahgunaan atau pemalsuan dokumen.
Kepala Keasistenan Penerimaan dan Verifikasi Laporan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, Sartika Dewi, mengatakan laporan tersebut didapatkan dari tiga daerah yaitu Kabupaten Garut, Kabupaten Subang dan Kota Bandung.
Dari empat laporan ini, rata-rata substansi masalah terkait adanya dugaan penyalahgunaan atau pemalsuan dokumen kependudukan.
"Kalau secara angka memang belum signifikan tapi kami melihat dari empat laporan tersebut akan berpotensi merugikan 341 siswa bila laporan yang dilaporkan kepada kami terbukti adanya penyalahan atau pemalsuan dokumen," ujar Sartika saat ditemui di kantornya, Kamis (27/6/2019).
Dia menuturkan, laporan itu terkait kebijakan zonasi pada PPDB 2019 yang menimbulkan potensi orang tua melakukan berbagai upaya agar bisa mendekatkan jarak anaknya ke sekolah tujuan, bahkan dengan cara-cara yang melanggar aturan.
BACA JUGA :
Salah satu contoh laporannya adalah data pendaftar yang sudah diinput di masing-masing sekolah diduga menyalahgunakan dokumen administrasi kependudukan.
"Misalnya pada satu alamat terdiri dari empat atau lima kartu keluarga atau karena adanya kebijakan di Permendikbud 51 tahun 2019 bahwa kartu keluarga itu bisa diganti dengan surat keterangan domisili yang kemudian di Kabupaten Subang yang dilaporkan itu tidak hanya permasalahan KK-nya saja," jelasnya.
Sartika menilai, Sruat Keterangan Domisili yang bisa dipakai sebagai pengganti KK sebgai bukti alamat tinggal sangat riskan menimbulkan kecurangan. Sebab KK bisa diakui sebagai syarat sah ketika minimal sudah belaku selama 6 bulan, sedangkan dalam Surat Keterangan Domisili ketentuan itu tidak tertera.
Sehingga banyak calon peserta didik yang benar-benar memiliki KK skor jarakknya tersingkir oleh mereka yang hanya menggunakan Surat Keterangan Domisili, alhasil mau tidak mau harus kalah dalam urutan kuota.
"Sebenarnya di dalam Permendikbud itu tidak menyebutkan khusus untuk keterangan domisili ini kapan harus diterbitkannya, yang ada harus ada pernyataan mutlak bahwa sudah menetap selama satu tahun atau dua tahun. Tapi dokumennya tidak ada sehingga berpotensi menimbulkan kecurangan," pungkasnya.